Cerita Sex Ngentod Ibu Mertua Ku yang Sudah Lama Tidak Dibelai

Cerita Sex – Kulit ibu mertuaku sudah mulai keriput di beberapa bagian, terutama di sekitar mata dan leher, tapi masih terasa halus saat tak sengaja tersentuh.
Dia sering memakai daster tipis di rumah, mungkin karena gerah, tapi itu membuatku salah fokus.
Siluet tubuhnya masih kelihatan jelas, lekuk pinggangnya, pinggulnya yang berisi, dan payudaranya yang meski tidak montok lagi, tapi putingnya sering menonjol dari balik kain.
Itu membuatku penasaran.
Kakinya jenjang dan betisnya kencang, masih sangat menarik untuk wanita seusianya.
Tapi yang paling sering kutangkap dari tatapannya adalah kesedihan yang dalam.
Seperti ada beban berat yang dipendamnya.
Malam itu, di rumah mewah ini, di tengah kesepian yang kurasakan juga, sebuah cerita ngentot yang tak terduga akan terjadi.
Aku jadi ingat cerita ngentot lain yang pernah kubaca, tentang seorang majikan yang juga kesepian dan mencari kehangatan dengan pekerjanya.
Kesepian memang bisa membuat orang melakukan hal-hal di luar nalar, dan kurasa cerita ini punya kemiripan dengan itu.
Beberapa bulan sebelum anak pertamaku lahir, ayah mertua meninggal dunia.
Keluarga besar istriku sangat terpukul, terutama ibu mertua, Maya, dan adik iparku, Shinta.
Mereka berdua memang yang paling dekat dengan almarhum.
Suasana rumah jadi murung dan sunyi untuk waktu yang lama.
Kami semua seperti kehilangan arah.
Tapi setelah acara tahlilan 40 hari, sedikit demi sedikit kami mulai bisa menerima kenyataan.
Hidup harus terus berjalan, begitu kata orang.
Apalagi setelah anakku lahir tiga bulan setelahnya, rumah kembali menemukan keceriaan.
Kehadiran bayi itu membawa kehangatan dan kebahagiaan baru.
Semua orang di rumah jadi lebih ceria dan penuh kasih sayang.
Aku sendiri jadi semakin sayang dan perhatian pada istriku.
Tapi entah kenapa, urusan ranjang kami tidak ada perubahan yang signifikan.
Mungkin karena istriku masih capek mengurus bayi, atau mungkin juga karena kami berdua sama-sama sibuk.
Aku jadi sering tergoda untuk mencari pelampiasan di luar rumah.
Tapi entah kenapa aku tidak pernah benar-benar melakukannya.
Pernah sekali aku diajak temanku ke sebuah tempat yang katanya “salon plus-plus”.
Awalnya aku cuma penasaran ingin melihat seperti apa tempat itu.
Salon itu ada di kompleks pasar.
Banyak wanita muda dan cantik pakai baju seksi.
Rata-rata laki-laki yang datang ke sana.
Katanya sih, di dalam ruang lulur, para pria bisa dapat “layanan lebih”.
Tapi anehnya, aku sama sekali tidak terangsang di sana.
Mungkin karena aku jijik membayangkan wanita-wanita itu sudah melayani banyak pria.
Aku tidak bisa membayangkan diriku berhubungan badan dengan mereka.
Jadi bukan karena alasan moral aku tidak pernah jajan.
Aku lebih memilih untuk melampiaskan hasratku sendiri di kamar mandi.
Waktu anakku umur tiga bulan, istriku mulai aktif kerja lagi.
Dia baru dipromosikan jadi supervisor dan sering dinas ke luar kota.
Aku bangga dengan kariernya yang sukses, tapi di sisi lain aku juga merasa kesepian saat dia pergi.
Anakku biasanya diasuh oleh tante-tantenya kalau istriku pergi.
Shinta, Mayang, atau kadang Mak Siti, pembantu kami.
Tapi mereka kurang telaten kalau kasih makan bayi.
Aku sendiri geli lihat bayi makan bubur.
Buburnya belepotan ke mana-mana.
Ibu mertuaku yang paling sabar dan telaten.
Dia bisa kasih makan anakku sampai habis dan nambah lagi.
Kalau siang, aku sering tidur siang bareng anakku.
Aku senang menatap wajahnya yang mungil, belajar ganti popok, dan menyusuinya.
Tapi kalau malam, anakku tidur di kamar ibu mertua.
Aku susah bangun kalau malam, jadi biar ibu mertua yang mengurusnya kalau anakku rewel.
Suatu siang, sepulang kerja, badanku terasa tidak enak.
Seperti mau demam dan tenggorokanku sakit.
Aku cuma cuci muka dan langsung rebahan di kamar.
Waktu ibu mertua mau menidurkan anakku di sebelahku, aku bilang dengan suara serak,
“Bu, Ayutidur sama Ibu saja ya?”
Ibu mertua kelihatan kaget, tapi dia melepas gendongan anakku dan bertanya,
“Kamu kenapa, Budi?”
“Badan saya agak meriang, Bu.
Pengen istirahat,” jawabku.
“Shinta dan Niken sudah pulang, Bu?” tanyaku lagi.
Ibu mertua tidak langsung menjawab.
Dia menempelkan punggung tangannya ke dahiku.
“Wah, badanmu panas.
Ya sudah, Ayubiar tidur di kamar Ibu.
Kamu istirahat saja,” katanya sambil menggendong cucunya.
Aku merasa lega bisa istirahat tanpa terganggu tangisan anakku.
Setelah ibu mertua keluar kamar, aku langsung memeluk guling dan berusaha tidur.
Tapi badanku terasa sakit semua, dan kepalaku berat sekali.
Aku coba memijat pelipis dan keningku untuk mengurangi rasa sakit.
Tiba-tiba ibu mertua muncul di ambang pintu.
“Nak Budi sudah minum obat?” tanyanya dengan suara pelan dan khawatir.
Wajahnya tampak pucat dan ada guratan kesedihan yang jelas terlihat.
“Belum, Bu.
Nggak usah.
Nanti saja,” jawabku lemas.
Dalam kondisi seperti ini, rasanya enak sekali kalau dikerik.
Dulu waktu masih kecil, ibuku sering mengerikku kalau aku sakit.
Badan langsung terasa ringan dan segar.
Tapi aku malu kalau harus minta kerik sama ibu mertua.
Dulu memang pernah sekali, waktu aku dan istriku bertengkar soal cara mengobati masuk angin.
Istriku tidak suka cara kerokan.
Katanya itu tidak sehat dan bisa merusak kulit.
Istriku memang dokter, jadi dia lebih percaya pengobatan modern.
Waktu itu ayah mertua membelaku dan meminta ibu mertua untuk mengerikku.
Sekarang, dalam keadaan sakit seperti ini, aku sebenarnya sangat ingin dikerik.
Seolah tahu isi pikiranku, ibu mertua tiba-tiba menawarkan diri dengan suara lembut,
“Mau ibu kerik?
Badanmu panas sekali, Nak.”
“Mm, terserah ibu saja,” jawabku, berusaha menyembunyikan rasa senang.
Dalam hati aku bersorak gembira.
Ibu mertua memanggil Mak Siti, pembantu kami, untuk mengambilkan minyak bayi dan uang logam.
Tidak lama kemudian, Mak Siti datang membawa barang-barang yang dibutuhkan.
“Kamu lagi ngapain, Mak?” tanya ibu mertua.
“Setrika baju, Bu,” jawab Mak Siti.
“Ya sudah, lanjutkan saja nanti,” kata ibu mertua.
Lalu dia duduk di tepi ranjangku.
“Lepaskan bajumu,” perintahnya dengan nada lembut.
Aku melepas baju dan celana panjangku.
Dengan sedikit ragu, aku membungkus bagian bawah tubuhku dengan kain sarung, lalu tengkurap di ranjang.
Ibu mertua mulai mengoleskan minyak di punggungku dan mengeriknya dengan uang logam.
Rasanya nikmat sekali.
Ada rasa hangat dan nyaman yang menjalar ke seluruh tubuhku.
Sesekali memang terasa sakit, terutama di bagian-bagian yang pegal.
Mungkin karena di situ ada penyumbatan aliran darah, pikirku.
“Merah semua nih punggungmu, Nak Budi,” komentar ibu mertua dengan suara lirih.
Aku hanya bergumam sebagai jawaban.
Ibu mertua memang sangat ahli dalam hal kerokan.
Gerakannya lembut dan teratur, tidak menimbulkan rasa sakit yang berlebihan.
Bahkan rasanya seperti dipijat dengan lembut.
Aku benar-benar merasa rileks dan nyaman.
Apalagi ibu mertua sangat sabar dan telaten.
Hampir setiap jengkal bagian tubuhku dikeriknya dengan penuh perhatian.
Setelah selesai mengerik punggung, ibu mertua menarik kain sarung yang menutupi tubuhku, sedikit menurunkan celana dalamku, dan mulai mengerik bagian pantatku.
Aku merasa sedikit tegang, tapi berusaha untuk tetap tenang.
Kemudian dia mengerik bagian pahaku.
Setelah selesai, aku diminta untuk membalikkan badan.
Ibu mertua mulai mengerik bagian dadaku.
Bagian ini terasa agak berat bagiku.
Aku merasa geli di beberapa bagian.
Apalagi saat ibu mertua mengerik di dekat ketiakku.
Rasanya seperti digelitik, membuatku ingin tertawa.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan rasa geli dengan merapatkan tanganku ke dada.
Ibu mertua tersenyum kecil melihat tingkahku.
Senyumnya terlihat dipaksakan, seperti menyembunyikan sesuatu.
Setelah beberapa saat, badanku mulai terbiasa dengan sensasi kerokan itu.
Rasa geli berkurang, dan aku mulai membuka mataku yang tadi terpejam.
Aku menatap wajah ibu mertuaku.
Wajah yang mulai menunjukkan tanda-tanda penuaan, tapi masih menyimpan sisa-sisa kecantikan masa mudanya.
Aku jadi membayangkan bagaimana penampilannya dulu saat masih muda.
Mungkin kalau aku tua nanti, istriku akan terlihat seperti ini, pikirku dalam hati.
Umur ibu mertuaku sekitar 50 tahun.
Kulit wajahnya masih terlihat kencang dan halus.
Hanya bagian leher dan lengannya yang tampak mulai keriput.
Aku merasa kasihan padanya.
Di usia seperti itu, dia sudah ditinggal suaminya.
Anak-anaknya sudah dewasa dan punya kesibukan masing-masing.
Dia pasti merasa sangat kesepian, pikirku.
Aku jadi merasa iba dan ingin menghiburnya.
Tiba-tiba badanku tersentak kaget.
Refleks, aku mencengkeram lengan ibu mertua dengan erat.
Rupanya dia mulai mengerik bagian perutku.
Bagian ini sangat sensitif dan membuatku geli.
Bahkan bulu kudukku ikut berdiri.
Ibu mertua terus mengerik perutku, dan aku terus mencengkeram lengannya dengan erat.
Sesekali tanpa sengaja aku mengangkat bagian perut dan pinggulku, sehingga menyentuh tubuh ibu mertua.
Gesekan-gesekan kecil itu ternyata mulai menimbulkan rangsangan pada penisku.
Sedikit demi sedikit, penisku mulai mengeras dan membesar.
Aku merasa aneh dan malu.
Tapi di sisi lain, aku juga merasakan nafsu yang perlahan-lahan muncul dalam diriku.
Aku bahkan dengan sengaja menempelkan bagian penisku yang tegang ke pinggang ibu mertua.
Aku sedikit menekannya sambil berpura-pura geli oleh kerikannya.
Padahal sebenarnya tidak.
Aku sudah mulai terbiasa dengan sensasi kerokan di perutku.
Tanganku masih mencengkeram lengan ibu mertua dengan erat.
Jantungku berdebar semakin kencang saat ibu mertua menurunkan kain sarung yang menutupi tubuhku.
Kini, di hadapannya, tubuh bagian bawahku hanya terbungkus celana dalam yang menonjol karena penisku yang tegang sempurna.
Aku sesekali mencuri pandang ke arah ibu mertua.
Dia juga tampak melirik ke arah penisku.
Lalu dia menurunkan sedikit bagian atas celana dalamku.
Hanya sedikit, membuat ujung penisku sedikit menyembul keluar.
Aku sebenarnya berharap dia menurunkannya lebih banyak.
Aku bisa merasakan ujung penisku yang sensitif bergesekan dengan kain celana dalamku.
Aku yakin ibu mertua pasti melihatnya.
Aku menatap wajahnya untuk melihat reaksinya.
Tapi wajahnya tampak datar dan tanpa ekspresi.
Aku jadi bertanya-tanya, apakah wanita ini sudah tidak tertarik lagi dengan seks?
Ataukah dia menganggapku tidak lebih dari anaknya sendiri?
Apakah dia pernah melihat penis pria lain selain milik suaminya?
Kerikan ibu mertua di bagian bawah perutku semakin terasa nikmat.
Sesekali tangannya menyentuh ujung penisku dengan lembut.
Seperti dikocok perlahan.
Aku benar-benar merasa terangsang.
Birahi mulai membakar seluruh tubuhku.
Aku memberanikan diri mengelus lengan ibu mertua dengan lembut.
“Ibu, makasih ya sudah mau mengerik badan saya,” ucapku dengan suara gemetar.
Ibu mertua hanya tersenyum kecil.
Senyum yang menyimpan kesedihan yang mendalam.
Dia terus mengerik perutku dengan gerakan yang semakin pelan.
Aku memberanikan diri menurunkan sedikit lagi celana dalamku, sehingga separuh penisku terlihat jelas.
“Bagian sini juga kan, Bu?” tanyaku sambil menunjuk selangkanganku dengan gugup.
“Iya,” jawab ibu mertua dengan suara bergetar.
Ada nada kerinduan dalam suaranya. Cerita Sex Kisah Ku Ngewhe Dengan Siska Penjaga Warteg Yang Aduhai
Sentuhan tangannya ke arah penisku semakin sering dan semakin berani.
Rasanya semakin nikmat dan membuatku semakin tidak tahan.
Aku menurunkan celana dalamku hingga terlepas seluruhnya, membiarkan penisku telanjang di hadapannya.
Aku bisa merasakan kerikan ibu mertua mulai kacau dan tidak beraturan.
Aku tahu dia mulai terpengaruh oleh pemandangan di depannya.
Ya, mustahil jika tidak.
Bagaimanapun juga, dia adalah seorang wanita biasa, dan aku adalah seorang pria dewasa.
Apalagi di antara kami tidak ada hubungan darah.
Kami hanya terikat oleh hubungan menantu dan mertua, yang terbentuk karena pernikahan.
Bukan hubungan yang alami.
Dengan jantung berdebar kencang, aku meraih tangan ibu mertua dan membimbingnya dengan perlahan dan ragu menuju penisku.
Aku meletakkan tangannya di sana.
Awalnya tidak ada reaksi apa pun.
Tangannya hanya diam di atas penisku.
Aku berusaha menggerak-gerakkan penisku dengan lembut, berharap dia akan merespons.
Sesekali aku menyentakkan pinggulku sedikit.
“Bu…” desisku pelan sambil menggerak-gerakkan pinggulku dengan gerakan kecil.
Ibu mertua sudah tidak fokus lagi pada kerokan.
Gerakannya tidak lagi seperti mengerik, tapi lebih mirip menggaruk dengan tidak sabar.
Aku mengusap punggungnya dengan lembut, merasakan kehangatan kulitnya di balik daster yang dikenakannya.
Aku merasakan tali bra di punggungnya, dan rasa penasaranku semakin memuncak.
Aku ingin tahu seperti apa bentuk payudara seorang wanita berusia 50 tahun.
Ibu mertua mulai meremas dan mengocok penisku dengan perlahan, membuatku semakin terangsang.
Aku memberanikan diri membuka resleting daster yang dikenakannya.
Lalu aku membuka kancing bra-nya, memperlihatkan kulit punggungnya yang putih dan halus.
Memang tidak sekenyal kulit istriku atau Shinta, adik iparku.
Tapi tetap saja membuatku semakin bergairah.
Aku merebahkan tubuh ibu mertua dengan lembut di ranjang.
Aku menciumi pipinya, telinganya, lehernya, dan bibirnya dengan penuh hasrat.
Kami berciuman dengan rakus dan penuh gairah.
Aku melepaskan daster yang dikenakannya di bagian atas, memperlihatkan payudaranya yang mulai mengendur.
Tapi aku tidak peduli.
Aku sudah dikuasai oleh nafsu yang membara.
Aku menciumi, menghisap, dan meremas payudaranya dengan kasar.
Ibu mertua menggeliat dan mengerang pelan sambil terus mengocok penisku.
Aku menurunkan celana dalamnya, ingin melihat seperti apa rupa memek seorang wanita berusia 50 tahun.
Seperti apa rasanya? Situs Gacor Mudah Menang
Memek ibu mertua dibalut oleh rambut kemaluan yang lebat dan berwarna hitam.
Sepintas, tidak ada bedanya dengan milik istriku.
Sama-sama kenyal dan basah.
Perbedaan baru terasa saat aku memasukkan penisku ke dalam lubang vaginanya.
Terasa lebih longgar dan kendur.
Tapi gerakan-gerakan yang dilakukan ibu mertua memberikan sensasi yang luar biasa bagiku.
Aku belum pernah merasakan pengalaman seperti ini sebelumnya.
Istriku, seperti yang sudah kuceritakan, tidak terlalu menikmati seks. Baginya, seks seperti kewajiban dalam pernikahan. Hubungan badan kami pun seringkali terasa hambar dan tanpa gairah. Seolah hanya formalitas belaka. Orgasme yang dia dapatkan sepertinya tidak pernah benar-benar mengubah sikapnya terhadap seks. Kini, di bawahku, ibu mertua seperti mengajarkanku bagaimana rasanya berhubungan badan dengan seorang wanita yang benar-benar menikmati seks. Penisku seperti diputar-putar dan diremas-remas oleh memeknya yang ketat. Sensasinya luar biasa dan membuatku lupa diri. Aku lebih banyak diam dan membiarkan ibu mertua yang memimpin. Hanya bibir dan tanganku yang bergerak ke sana kemari, menjelajahi setiap bagian tubuhnya yang menggoda. Sedangkan pinggulku hanya diam menerima semua perlakuannya.
Ibu mertua merintih pelan, lalu berubah menjadi erangan yang semakin keras. Dia mendekapku erat dan gerakannya semakin liar, membuatku tidak bisa menahan diri lagi. Aku mulai menggenjot pinggulnya dengan kuat dan cepat. Kedua kakinya melingkari betisku, dan bibirnya mencium dan mengisap leherku dengan penuh gairah. Lalu dia mencium bibirku dengan rakus, hampir menggigitnya saking bernafsunya. Dan akhirnya, aku merasakan kenikmatan yang luar biasa saat sperma memancar di dalam vaginanya. Aku tahu ini aman karena ibu mertua sudah tidak mungkin hamil lagi.
Setelah selesai, kami berdua terdiam dalam keheningan kamar. Tubuhku terasa lemas, tapi pikiranku jernih. Ibu mertua bergegas membetulkan letak dasternya, mengenakan celana dalamnya, dan menghilang dari hadapanku tanpa sepatah kata pun. Aku terlalu lelah untuk bergerak, jadi aku langsung tertidur di ranjang. Bahkan aku malas untuk pergi ke kamar mandi membersihkan diri.
Kejadian itu membuat hubunganku dengan ibu mertua menjadi canggung dan kaku. Dia berusaha menghindariku dan hanya berbicara seperlunya jika memang perlu. Dia tampak sangat terpukul atau mungkin malu dengan apa yang telah terjadi di antara kami. Aku sendiri berusaha bersikap sewajar mungkin. Pengalamanku dengan Mbak Cika dan Shinta dulu telah mengajariku bagaimana caranya bersikap setelah terlibat dalam skandal seperti ini. Tapi berbeda dengan ibu mertua, Mbak Cika dulu juga berubah drastis setelah kejadian itu. Dia jadi lebih pendiam dan sering melamun.
Bagikan ini: